Monday, August 15, 2016

Membangun Negeri dengan Mimpi


Membangun Negeri dengan Mimpi

“The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.”
   Eleanor Roosevelt

Semua dimulai dari mimpi. Mimpi berkuliah di luar negeri. Dari sinilah, kemudian terbentang jalan nan panjang yang tiada terkira sebelumnya. 
Masih ingat benar tahun 2014, saat saya dinyatakan tidak diterima di University of Westmister, London. Dengan itu pula, pupuslah harapan saya untuk menerima beasiswa penuh untuk bisa kuliah di Inggris. Padahal untuk mendaftar ke universitas itu saja, saya perlu menunggu 2 tahun lamanya karena terkendala kartu kredit. Alasannya adalah tidak adanya teman yang memilikinya. Dan naasnya, pembayaran melalui kartu kredit ini menjadi satu-satunya cara yang memungkinkan bagi calon internasional student untuk melakukan pembayaran pendaftaran. Namun pada akhirnya, teman yang baru saya kenal belakang tak dinyana memilikinya dan bersedia membantu, sehingga saya bisa mendaftar setelah 2 tahun menunggu.  
Berburu beasiswa penuh ke luar negeri memang bukanlah hal mudah. Butuh perjuangan dan pengorbanan. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk mendapatkannya, mulai dari rajin mencari informasi beasiswa, berjuang untuk memenuhi persyaratannya,  sampai mempersiapkan bekal mental serta bahasa dan budaya. Dari kegagalan inilah, saya kemudian belajar banyak, dan mulai menyusun strategi baru untuk mendapatkannya di kemudian hari. 
Hal yang menyebabkan kegagalan ini sebenarnya bersumber dari kekurangjelian saya dalam mencari informasi. Ternyata, ada satu hal yang tidak saya penuhi dalam aplikasi saya, yakni foundation program. Foundation program (program pondasi) sendiri adalah program persiapan studi satu tahun yang harus diambil dan dimiliki oleh mahasiswa internasional sebelum memasuki program bachelor (S1) di perguruan tinggi asing. Program ini biasa ditetapkan sebagai syarat pendaftaran di negara-negara di Eropa, Amerika, dan Australia. Foundation program ini baru saya ketahui usai melihat pengumuman pendaftaran dan mengikuti seminar pendidikan luar negeri setelahnya. 
Meskipun demikian, kegagalan ini tidak membuat saya bergubang dalam kesedihan dalam waktu yang lama. Justru sebaliknya, saya merasa lebih bersemangat dan bahkan senang dengan semua proses ini. Sebab dalam proses pencarian beasiswa tersebut, saya bertemu orang-orang hebat lewat kisah mereka dalam berburu beasiswa yang sungguh memantik semangat. Salah satunya adalah Pak Bambang Sumintono, yang kini mengabdikan dirinya sebagai guru besar di Universiti Malaya, universitas tertua di Malaysia. 
Beliau berkisah tentang perjuangannya dalam berburu beasiswa AusAID untuk studi magisternya di Australia dan NZAID untuk studi doktoralnya di Selandia Baru. Dalam blog pribadinya, beliau bercerita bahwa beliau harus berjuang keras untuk bisa mendapatkan IPK bagus agar menjadi “eligible” untuk mengajukan beasiswa di Australia. Ijazah D3 dari IPB yang telah beliau kantongi saat itu tidaklah cukup untuk mendaftar. Karena beasiswa itu mensyaratkan ijazah S1 dengan IPK yang lebih tinggi daripada IPK yang beliau peroleh. Akhirnya, beliau harus melanjutkan ke jenjang sarjana di sela-sela kesibukannya sebagai guru SMA di pedalaman Lombok. 
Butuh waktu 3,5 tahun baginya untuk melancarkan strateginya, yakni lulus mengantongi IPK di atas 3 di jenjang sarjana. Caranya ialah dengan mengulang setiap mata kuliah yang memperoleh nilai jelek. Bahkan beliau rela untuk mengulang beberapa mata kuliah hingga tiga kali. Dan jika nilai-nilai tersebut belum juga tersulap seperti harapan setelah tiga kali mengulang, maka lapang dada menjadi pilihan terakhirnya. 
Di samping berjuang memperbaiki IPK, beliau juga nyambi belajar bahasa Inggris sebagai persiapan menghadapi TOEFL, yang menjadi syarat mutlak untuk bisa diterima di perguruan tinggi asing. Skor yang diminta untuk program master umumnya adalah 550, dan untuk memperolehnya, butuh waktu yang tidak singkat bagi kebanyakan orang. Perlu mengasah kemampuan secara kontinu agar lebih mahir berbahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. 
Dan sayangnya, untuk mencapai skor tersebut, beliau harus melakukannya seorang diri. Kondisi yang memaksanya, karena di tempat beliau mengabdi tidak ada tempat kursus bahasa Inggris. Namun hal ini tidak menjadi halangan bagi beliau untuk tetap belajar. 
Semua perjuangan dan kerja keras beliau selama studi berbuah hasil dengan ditetapkannya beliau sebagai wisudawan terbaik jurusan (Pendidikan Kimia) dengan IPK 3,45 pada tahun 1997 di Universitas Terbuka (UT). Dan di waktu yang sama, hasil belajar sambilannya bahasa Inggris menampakkan wujud dalam bentuk skor TOEFL institusional 540 dari Universitas Mataram. Dengan berbekal ini semua, beliau kemudian memberanikan diri melangkahkan kaki melamar beasiswa AusAID, yang sudah beliau incar sedari beberapa tahun silam. 
Singkat cerita, beliau berhasil masuk ke dalam shortlist dari 5000 lebih pelamar (yang baru beliau ketahui setelah menelepon pihak AusAID karena surat balasan yang dikirimkan tidak sampai ke alamat beliau di desa dan karena itu, beliau melewatkan wawancara beasiswa yang semestinya di Denpasar) dan selanjutnya menjalani wawancara dan tes kemampuan bahasa Inggris IELTS di Jakarta. Dari tes IELTS yang diadakan, band (baca: skor) yang beliau peroleh lumayan memuaskan, namun masih perlu ditingkatkan, sehingga beliau harus mengikuti pre-departure program yang telah disediakan oleh pihak AusAID selama 3 bulan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. 
Setelah program prakeberangkatan tersebut selesai, selesai pula pengurusan administrasi beasiswa oleh pihak AusAID. Dan hal ini menandai kesiapan para penerima beasiswa untuk memulai kehidupan akademik baru di Australia. Lalu akhirnya, apa yang beliau perjuangkan dan impikan selama itu terbayar pada bulan Juli 1999, dengan diterbangkannya beliau ke Adelaide untuk mengeyam studi master di Flinders University. 
BACA: kisah Pak Bambang di sini.
Kisah Pak Bambang di atas merupakan salah satu kisah inspiratif para pemburu beasiswa. Masih banyak kisah lain yang juga menarik dibaca. Berawal dari kisah-kisah inilah, saya lalu memutuskan untuk “write my own story” dalam berburu beasiswa. 
Saya mulai menuliskan kisahku dengan menyusun strategi untuk kesempatan mendatang. Strategi ini diwujudkan dengan memilih universitas terbaik yang tidak menggangu pekerjaan sebagai pengajar bahasa Inggris full time di tempat kursus. Sebab setelah mencari ke sana kemari, ternyata tidak ada universitas asing yang menawarkan beasiswa penuh untuk foundation program. Yang ada hanyalah beasiswa parsial saja yang jumlahnya paling banter 50 persen dari total biaya studi. Dan sisanya kita harus biayai sendiri, yang apabila di-kurs-kan ke dalam rupiah masih cukup besar jumlahnya. Oleh karena itu, saya putuskan untuk “banting setir” dengan kuliah terlebih dahulu di sini. 
Sebenarnya kenapa saya ingin sekali kuliah di luar negeri bukan karena universitas di sini buruk kualitasnya, melainkan karena keinginan untuk memperluas wawasan dan mencari pengalaman yang sepenuhnya baru di luar sana. Yang pastinya di masa depan ini akan sangat berguna. 
Setelah menimbang beberapa hal, saran, dan masukan dari sekitar, saya memantapkan pilihan ke Universitas Terbuka dari sekian opsi yang ada. Selain dari kisah Pak Bambang Sumintono yang kuliah di UT, seorang rekan penerjemah (tersumpah) yang saya kenal lewat blog juga merekomendasikan UT sebagai perguruan tinggi yang tepat untuk mendalami ilmu penerjemahan (di UT ditawarkan program studi khusus Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan). Oleh sebab itu, saya tidak ragu lagi dengan pilihan ini.  
 
Langkah berikutnya setelah menentukan perguruan tinggi adalah mencetak IP cum laude tiap semester. Meski jarang sekali ada beasiswa yang meminta IPK setinggi itu, mempunyai IPK tinggi akan memberikan banyak keuntungan, misalnya membuat kita lebih pede dalam berburu beasiswa dan memberikan kita keleluasaan dalam memilih universitas, terutama universitas-universitas kelas wahid. 
Dan alhamdulillah... dengan doa dan belajar sungguh-sungguh, didapatlah IP cum laude hingga semester ini (semester 4), sehingga dengan itu pula terbantahlah pemeo “masuk gampang, keluar susah” yang sejak lama menjadi tumor otak di kepala banyak mahasiswa UT. 
Lalu sebagai hadiah atas kerja keras ini, pada awal semester 4, datang undangan dari UPBJJ-UT Semarang (UPBJJ di mana saya bernaung) berupa permintaan untuk memberikan testimoni saat Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB) 2016.1 yang berlangsung pada tanggal 20 dan 21 Februari. Di mana pada acara tersebut, saya diminta membeberkan tips-tips untuk mendapatkan IP cum laude. Tentu hal ini menjadi pengalaman berharga dan tak terlupakan bagi saya dan sekaligus menjadi ajang perkenalan dengan para pengelola (baca: pegawai) di UPBJJ tersebut. 
BACA: Tips Mendapatkan IP Cum Laude Setiap Semester di Universitas Terbuka (UT) di sini.
Di samping hadiah di atas, hadiah lain juga saya terima. Hadiah ini berbentuk beasiswa PPA selama 2 semester (semester 2 dan 3). Memang sejak awal saya mengincar beasiswa ini untuk meringankan beban (karena saya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan membiayai adik sekolah) dan sebagai bekal menuju beasiswa berikutnya. Rasanya malu sekali jika saya mendaftar beasiswa ke luar negeri tanpa pernah menerima beasiswa prestasi di negeri sendiri. 
Sesudah “misi cum laude dan beasiswa” ini sukses, walau belum sepenuhnya (karena harus menempuh 4 semester lagi), saya bersiap untuk mengemban misi selanjutnya, menulis buku sesuai keahlian saya. Kenapa harus menulis buku? Karena dengan menulis buku (yang berhasil diterbitkan oleh penerbit mayor atau nasional) akan membuat perguruan tinggi asing tidak segan dengan kita. Sebab kemampuan kita telah teruji dan diakui di negeri sendiri. 
Begitu ide ini terbersit di kepala, mulailah saya mencari tahu seperti apa konsep buku yang bakal dilirik redaktur. Rupanya, 50 persen perhatian redaktur dicurahkan pada “nilai jual” saat menilai sebuah buku. Sebagus apapun sebuah buku tidak akan ada artinya jika tidak memiliki nilai jual di mata redaktur. Karena bagaimana pun, penerbit memerlukan biaya yang besar untuk menerbitkan buku dan mereka tak mau rugi atas uang yang telah mereka keluarkan. Setelah nilai jual ini, baru perhatian diberikan kepada aspek yang lain seperti tema, penyajian, bahasa, dsb. 
Mengetahui hal ini, saya lalu menulis buku tata bahasa Inggris dengan judul “Pandai Berbahasa Inggris ala Kampung Inggris Pare – Parts of Speech”. Alasan yang mendasari pemilihan judul ini adalah sudah adanya buku yang mengulas materi serupa Parts of Speech. Namun dengan menambahkan Kampung Inggris Pare, orang pasti akan tertarik membelinya sebab kampung ini telah dikenal luas sebagai one stop English, di mana metode dan program yang ditawarkan di sana terbukti ampuh untuk menguasai bahasa Inggris dalam waktu singkat, hanya dalam hitungan bulan.  
 
 
 
Tak hanya dengan judul yang menjual, materinya pun diulas dengan lebih komprehensif dari buku-buku sejenis dan disusun dengan konsep yang digunakan di Kampung Inggris Pare. Sehingga dengan begitu, tak ada alasan bagi penerbit untuk menolak buku yang akan saya ajukan. Dan benar seperti keyakinan saya, buku tersebut lolos seleksi dan kemudian terbit di Gramedia dan toko buku modern lainnya (Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bhuana Ilmu Populer, Gramedia Group pada November 2015).  
BACA: Deskripsi singkat "Pandai Berbahasa Inggris ala Kampung Inggris Pare – Parts of Speech" di sini
Dengan diterbitkannya buku ini, tercapailah misi saya yang lain untuk mengukir senyum di wajah kedua orang tua (prestasi gemilang terakhir diperoleh ketika MTs, dengan naik ke atas podium bersama Ibu karena menjadi Siswa Terbaik saat kelulusan) dan meningkatkan kualitas diri sebagai konsultan tata bahasa (grammar consultant). Selebihnya yaitu misi berkontribusi untuk negeri seperti apa yang John F. Kennedy utarakan untuk kita lakukan – Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country. 
Usai seluruh misi terlaksana, menyusup pertanyaan baru, “Apa yang bisa saya lakukan lagi untuk mimpi saya?” Selalu terngiang di telinga perkataan Pak Julian Balia (dari film Sang Pemimpi), “Bukan seberapa besar mimpi kalian, tapi seberapa besar kalian untuk mimpi itu.” Perkataan ini membisiki saya untuk melakukan hal lain yang dapat menjadikan saya sebagai kandidat kuat dan bahkan tak tergeser untuk menerima full scholarship di kemudian hari. Pasalnya, saya mau tak mau akan bersaing dengan kandidat lain yang berasal dari universitas yang “lebih menjual” daripada universitas saya sekarang. Oleh  sebab itu, saya harus menambahkan added value terhadap diri saya. 
Gagasan atas apa yang harus saya lakukan selanjutnya kemudian datang dari kampus atas penunjukan untuk mengikuti Disporseni UT 2016. Disporseni (Diskusi Ilmiah, Pekan Olah Raga, dan Seni) adalah ajang pengembangan bakat dan minat sekaligus ajang silaturrahmi yang diperuntukkan bagi mahasiswa UT di seluruh Indonesia. Ajang ini biasa digelar tiga tahun sekali, sehingga menjadi kesempatan sekali seumur hidup bagi saya untuk aktualisasi diri (dalam bidang akademi). Dalam acara akbar ini, saya didapuk untuk maju pada cabang Diskusi Ilmiah bersama dengan seorang teman mahasiswa. 
Kesempatan emas ini pun tidak saya sia-siakan, lantaran ini bisa menjadi selling point saya berikutnya. Maka dari itu, saya mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh dengan tetap memegang prinsip “hope for the best and prepare for the worst”. Dan andai kata, kekalahan datang menyapa, setidaknya saya telah mendapat pengalaman baru, teman-teman baru, dan juga sertifikat baru (baca: piagam keikutsertaan). Tidak apa. 
Akan tetapi, entah bagaimana, saya dan teman saya merasa begitu optimis dapat menjuarai perlombaan ini. Setidaknya juara 3. Padahal kita berdua belum tahu seperti apa dan bagaimana kemampuan lawan dari daerah lain. Hanya rasa percaya diri yang kuat (dengan materi yang akan kita bawakan) yang menyusup ke dalam dada kita. 
Dan tanpa disangka, optimisme ini berubah realita. Nama kita disebut sebagai juara pertama saat penutupan acara. Mendadak, studi ke luar negeri serasa tinggal selangkah lagi. Dengan tambahan bekal ini, seolah universitas impian (Oxford, Cambridge, Harvard, dkk.) melambai dari kejauhan. Ah... bahagianya jika ini bukan sekedar lamunan semata. Hahaha... :D 
 
BACA: Juara 1 Diskusi Ilmiah dalam Disporseni UT 2016 di Surakarta di sini
Membebaskan diri dari keramaian acara, segera saya kabari orang tua. Jujur saja, saya ingin sekali mendengar respon mereka tentang kemenangan ini. Dan juga ingin sekali mengukir senyum di wajah mereka lagi untuk ke sekian kalinya, serta berharap mereka bisa bangga. Selebihnya, saya ingin kakak saya yang baru saja menikah, tepat di hari keberangkatan Disporseni ini, mengetahui bahwa saya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ia berikan untuk pergi. Sebagai ganti atas kemurahan hati, saya persembahkan kemenangan ini sebagai kado pernikahan. Dan untuk adik-adik tercinta (saya adalah anak keenam dari sembilan bersaudara), kemenangan ini (berserta prestasi dan pencapaian sebelumnya) saya maksudkan untuk memotivasi mereka dalam belajar dan bercita-cita. 
Lalu, dengan kemenangan ini, saya semakin yakin bahwa Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita seperti yang dikatakan Andrea Hirata. Terlepas dari apa yang akan terjadi kemudian, entah mimpi itu akan tercapai atau tidak. Yang terpenting adalah kesungguhan dalam mencapainya. Dan andai pada akhirnya, saya tidak bisa juga kuliah di universitas-universitas tersebut, saya akan mengikhlaskannya (hold on tightly, let go lightly). Karena saya yakin, Tuhan punya rencana yang lebih baik dengan pilihan-Nya. 
Namun saya sangat berharap, Tuhan akan menunjukkan kemurahan-Nya, sehingga saya dapat diterima di sana, dan sekembalinya dari sana, saya bisa terus berkontribusi untuk negeri, dengan tidak hanya mengajar dan menulis buku, tetapi juga dengan melakukan hal-hal yang lebih besar lagi. :D 



Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-32. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.

3 comments:

  1. ^_^b
    Terima kasih sudah mampir... :D

    ReplyDelete
  2. kak... mimpi kakak sejalan dengan syaa juga. Salam saya mahasiswa ut semester 7, tapi hal yang akan saya lakukan yaitu disporseni UT terasa mustahil saya ikuti, karena ijin dari kantor untuk ikut acara ini sangat susah. soo sad :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau memang tidak berjodoh dengan Disporseni, bisa direalisasikan dengan cara lain. Yang penting terus berusaha dan berdoa, pasti ada jalan ke sana... Salam SEMANGAT!!! 💪😁

      Delete